Dilihat 0 Kali

04_281_g78yoi.png

Selasa, 06 Mei 2025 14:47:00 WIB

Menanam Kesadaran Hanifiyyah: Orasi Guru Prof. Usman, SS., M.Ag Soroti Fondasi Filosofis Pendidikan Islam

Yogyakarta, Indonesia – 6 Mei 2025

Dalam sebuah prosesi akademik resmi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Usman, S.S., M.Ag., menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar dengan tema hubungan antara Pendidikan Agama Islam (PAI) dan pembentukan kesadaran Hanifiyyah — sebuah paradigma kesadaran spiritual transformatif yang ia rumuskan sebagai poros bagi masyarakat Muslim.

Pidato yang disampaikan di hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas ini memadukan pemikiran dari sejumlah filsuf dan pemikir pendidikan — mulai dari Auguste Comte hingga Paulo Freire, dari C.A. van Peursen hingga Kuntowijoyo — untuk membingkai diskursus kritis mengenai bagaimana kesadaran manusia, khususnya dalam konteks umat Islam, seharusnya dibentuk, dikembangkan, dan dilembagakan melalui pendidikan.

“Secara filosofis,” ujar Prof. Usman, “kesadaran tidak bisa dilepaskan dari akar ontologisnya. Ia bukan sekadar ranah kognitif, melainkan juga spiritual, terwujud secara jasmani, dan secara epistemologis berorientasi pada yang Ilahi.” Dengan merujuk pada triadik epistemologis Thomas Kuhn — mode of thought, mode of inquiry, dan mode of knowing — Prof. Usman menekankan bahwa pendidikan Islam seharusnya tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi membangun kesadaran paradigmatik yang bersifat empiris sekaligus transendental.

Pusat dari orasi ini adalah pemodelan konseptual kesadaran Muslim yang terbagi dalam empat tahapan: Jahiliyyah (ketidaktahuan), Diniyyah (religiositas ritual), ‘Ilmiyyah (iman berbasis ilmu), dan Hanifiyyah (tauhid primordial yang berpijak pada akal dan wahyu). Tahap terakhir ini, Hanifiyyah, dianggap sebagai tujuan utama pendidikan Islam dalam membentuk religiositas yang konstruktif—yakni religiositas yang tidak hanya memahami, tetapi juga mewujudkan kebenaran dalam tindakan nyata.

Ia mengkritik pendekatan epistemologis parsial — yang hanya bertumpu pada yang empiris dan rasional — sebagai tidak memadai untuk masyarakat yang hidup dalam kosmologi religius. Sebagai alternatif, ia mengusulkan dasar filsafat Muslim yang holistik: Empiris–Rasional–Religius, atau dalam bentuk lain, Iman–Ilmu–Amal.

Berbeda dengan model pendidikan progresif Barat yang cenderung fokus pada “being” dan realitas kekinian, Prof. Usman mengajak pada pedagogi yang menghubungkan waktu kini dengan dimensi ketuhanan. “Kesadaran Islam yang sejati tidak berhenti pada yang kini dan di sini. Ia mesti mengarah kepada horizon Ilahiyah,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa kesadaran ini hanya bisa ditumbuhkan melalui tiga ranah pendidikan yang saling terhubung: informal, nonformal, dan formal. Menurutnya, PAI tidak sekadar kurikulum, melainkan perangkat kultural yang membangun paradigma dan peradaban.

“Peran pendidikan Islam bukan hanya instruksional, tetapi juga peradaban,” tutupnya. “Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, PAI dapat menjadi inti generatif dari kesadaran nasional yang mampu membawa Indonesia menuju masa depan emasnya.”

Pidato yang sarat referensi filosofis namun tetap berpijak pada realitas pendidikan lokal ini menjadi penanda penting bagi peran UIN Sunan Kalijaga dalam mengembangkan pemikiran Islam yang responsif terhadap tantangan intelektual dan sosial kontemporer.