Dilihat 0 Kali

UIN SUKA

Jumat, 02 Mei 2025 08:31:00 WIB

Pendidikan Tinggi dan Buruh: Jalan Menuju Keadilan Sosial yang Terabaikan

Setiap tahun, peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei menjadi momen penting untuk refleksi tentang kondisi buruh di seluruh dunia, khususnya terkait dengan kesejahteraan, hak-hak dasar, dan akses terhadap peluang yang lebih baik. Salah satu topik yang seringkali terabaikan dalam diskusi tentang buruh adalah peran pendidikan tinggi dalam menentukan nasib mereka. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi, yang sering dianggap sebagai jalan utama menuju mobilitas sosial dan peningkatan kesejahteraan, justru bisa menjadi senjata bermata dua bagi kelas pekerja.

Pendidikan tinggi memang memiliki potensi untuk membuka pintu-pintu kesempatan bagi individu dari kalangan buruh untuk meningkatkan posisi sosial-ekonominya. Namun, realitas menunjukkan bahwa pendidikan tinggi tidak selalu dapat menjamin perbaikan nasib bagi mereka yang berasal dari kelas pekerja. Faktanya, sistem pendidikan tinggi seringkali memperburuk ketimpangan yang ada, bukan menguranginya. Di banyak negara, termasuk Indonesia, pendidikan tinggi lebih sering menjadi domain kelompok elit yang mampu membayar biaya kuliah tinggi, sementara kelas pekerja masih kesulitan mengaksesnya. Ini bukan hanya soal biaya, tetapi juga tentang ketimpangan dalam kualitas pendidikan yang mereka terima, serta bias dalam kurikulum yang cenderung menguntungkan kelas menengah ke atas.

Fenomena ini, dalam kerangka teori sosial, disebut sebagai reproduksi sosial. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog terkenal, menekankan bahwa pendidikan lebih sering mereproduksi ketimpangan sosial daripada mengurangi kesenjangan tersebut. Pendidikan tinggi, terutama di negara berkembang, seringkali tidak mempersiapkan mahasiswa dari kelas pekerja untuk berkompetisi secara adil di pasar kerja global. Kurikulum yang ditawarkan lebih menekankan pada keterampilan yang dibutuhkan oleh pasar yang lebih menguntungkan bagi kelas menengah dan atas, sementara buruh sering kali dipaksa untuk terjebak dalam pekerjaan yang tidak memerlukan gelar tinggi.

Tantangan terbesar bagi buruh adalah ketidaksetaraan akses. Di Indonesia, meskipun jumlah pendaftar perguruan tinggi terus meningkat, masih ada jurang pemisah yang signifikan antara mereka yang berasal dari keluarga kaya dan keluarga miskin. Menurut data UNESCO (2022), terdapat ketimpangan besar dalam akses pendidikan tinggi antara kelompok kaya dan miskin, yang mengarah pada kesenjangan kesempatan bagi buruh untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan, ketika pendidikan tinggi tersedia, biaya kuliah dan keberadaan kampus di daerah-daerah terpencil seringkali membuatnya tidak terjangkau bagi mereka yang tinggal di luar kota besar.

Pendidikan tinggi memang bisa menjadi alat untuk mobilitas sosial, tetapi hanya jika aksesnya terjamin secara merata. Di banyak negara, meskipun angka pendaftaran perguruan tinggi meningkat, banyak lulusan dari kelas pekerja yang justru kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sebanding dengan pendidikan yang mereka peroleh. Ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi, tanpa adanya kebijakan yang mendukung inklusivitas sosial dan ekonomi, hanya akan memperburuk ketidaksetaraan. Tanpa keadilan dalam distribusi kesempatan, pendidikan tinggi bukanlah jalan keluar bagi kelas pekerja, melainkan menjadi pelengkap penderitaan mereka yang sudah terpinggirkan.

Namun, ada potensi besar dalam pendidikan tinggi untuk membentuk kesadaran kelas yang lebih tajam di kalangan buruh, jika sistem pendidikan dirancang untuk mengedukasi mereka tentang hak-hak sosial dan ekonomi mereka. Paulo Freire, dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed, mengajarkan bahwa pendidikan harus berfungsi untuk membangkitkan kesadaran kritis (conscientização) dan mempersiapkan individu untuk terlibat dalam perjuangan sosial. Dengan pendekatan ini, pendidikan tinggi bisa menjadi alat yang lebih daripada sekadar sarana untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga sebagai alat pembebasan bagi kelas pekerja.

Di sinilah peran pendidikan tinggi dalam konteks peringatan Hari Buruh menjadi sangat penting. Sebagai bagian dari perayaan ini, penting untuk mengingatkan kembali bahwa pendidikan tidak hanya harus berfokus pada pemberian keterampilan untuk bekerja, tetapi juga harus mencakup pemberdayaan sosial dan politik bagi mereka yang terpinggirkan. Pendidikan tinggi harus mampu memberikan bekal kepada buruh untuk memahami posisi sosial mereka dan berperan dalam perubahan sosial yang lebih adil.

Pada akhirnya, pendidikan tinggi yang inklusif dan relevan adalah salah satu kunci untuk menciptakan kesejahteraan yang lebih merata bagi kelas pekerja. Namun, jika sistem ini tetap didominasi oleh mereka yang sudah memiliki akses ke sumber daya, maka Hari Buruh Internasional hanya akan menjadi simbol tanpa substansi bagi jutaan buruh di dunia, termasuk di Indonesia. Pendidikan tinggi harus dijadikan sebagai alat pembebasan, bukan sekadar jalur elit untuk akses kekuasaan dan kemakmuran. Jika tidak, maka buruh akan tetap terjebak dalam lingkaran ketimpangan yang tak pernah terputus.

Pada Hari Buruh Internasional ini, kita harus mempertanyakan kembali sejauh mana pendidikan tinggi dapat menjadi alat perubahan bagi buruh. Pendidikan harus dilihat sebagai hak yang setara, bukan sekadar privilese bagi mereka yang mampu. Pendidikan tinggi yang inklusif dan berkeadilan adalah jalan menuju kesejahteraan sosial yang lebih merata, yang dapat memberikan buruh kesempatan yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam perekonomian global yang semakin kompetitif. Ini adalah tantangan besar yang harus dihadapi oleh negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, agar dapat benar-benar memperingati Hari Buruh dengan memberikan keadilan sosial yang sesungguhnya.