Idulfitri bukan sekadar hari raya keagamaan, tetapi juga momentum peradaban. Di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga sosial dan edukatif. Dalam tradisi umat Islam, Idulfitri adalah hari kembali kepada fitrah, hari di mana manusia diharapkan menjadi lebih bersih, lebih jernih dan lebih manusiawi. Gema takbir yang menggema di langit malam bukan hanya seremonial, melainkan seruan untuk menata kembali kehidupan dalam harmoni dan kasih sayang.
Namun, pertanyaan penting yang patut diajukan hari ini adalah: sejauh mana nilai-nilai Idulfitri ini diinternalisasi dalam sistem pendidikan kita? Apakah pendidikan kita sudah menjadi ruang yang menghadirkan nilai pengampunan, kebersamaan, kejujuran, kesetaraan, dan cinta kasih sebagaimana semangat Idulfitri? Jika belum, maka inilah saatnya kita merumuskan kembali arah pendidikan Indonesia, dengan menjadikan Idulfitri sebagai inspirasi dasar hadirnya kurikulum cinta.
Pendidikan yang Kekurangan Cinta
Selama ini, pendidikan kita cenderung berorientasi pada aspek kognitif semata. Fokus pada capaian akademik, nilai ujian, indeks prestasi, atau akreditasi, sering kali melupakan sisi afektif dan spiritual dari proses pembelajaran. Banyak institusi pendidikan yang lebih menekankan pada persaingan akademik, sementara aspek penguatan afeksi sering kali kurang diperhatikan. Akibatnya, sekolah dan kampus tidak lagi menjadi rumah yang memanusiakan, melainkan menjadi ruang kompetisi yang sering kali kering dari empati.
Berdasarkan laporan terbaru dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sepanjang tahun 2024 hingga Februari 2025, Komnas PA menerima 4.388 pengaduan terkait hak anak, dengan 17% dari kasus tersebut terjadi di lingkungan sekolah. Jenis kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual (56%), diikuti oleh kekerasan fisik dan psikis (24%), serta kasus hak asuh anak (20%). Data ini mencerminkan bahwa sistem pendidikan kita tengah mengalami krisis cinta dan kepedulian.
Tidak sedikit guru yang kehabisan waktu untuk mengejar target kurikulum, tetapi abai terhadap perkembangan psikososial peserta didik. Demikian pula orang tua yang lebih terpaku pada hasil ujian anak, alih-alih menemani proses tumbuh kembang mereka dengan penuh kasih.
Di sinilah urgensi kurikulum cinta. Bukan sebagai mata pelajaran baru, tetapi sebagai pendekatan nilai yang menjiwai seluruh proses pendidikan. Kurikulum cinta mengandaikan pendidikan bukan hanya sebagai alat reproduksi pengetahuan, tetapi juga sebagai ruang penyembuhan sosial, ruang pertumbuhan nilai, dan ruang perjumpaan antarmanusia yang saling menghargai.
Idulfitri: Refleksi Nilai-nilai Kemanusiaan
Idulfitri adalah hari raya yang menyatukan manusia dalam kesetaraan. Dalam satu shaf yang sama, tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat, guru dan peserta didik. Semua kembali kepada esensi fitrah, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang sama-sama berasal dari tanah, dan akan kembali kepada Tuhan yang Maha Pengasih. Dalam konteks ini, Idulfitri adalah representasi dari pendidikan egaliter, yang tidak membeda-bedakan berdasarkan kelas sosial atau status ekonomi.
Tradisi saling memaafkan dalam Idulfitri juga menjadi simbol pendidikan afektif yang selama ini kurang mendapat tempat. Proses saling membuka hati, mengakui kesalahan, dan memulai kembali dari titik nol adalah pelajaran berharga dalam membangun karakter. Ini adalah pendidikan yang sangat kontekstual, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal dalam kurikulum nasional.
Lebih jauh, Idulfitri juga mengajarkan tentang pentingnya keluarga, komunitas, dan relasi sosial yang sehat. Ketika umat Islam saling mengunjungi, berbagi makanan, dan saling memberi, sesungguhnya itu adalah praktik konkret dari cinta dalam tindakan. Maka, pendidikan pun semestinya tidak hanya mengajarkan teori tentang cinta dan perdamaian, tetapi juga memfasilitasi praktik-praktik sosial yang mencerminkan nilai tersebut.
Tiga Pilar Kurikulum Cinta
Kurikulum cinta dapat dibangun di atas tiga pilar utama: spiritualitas, keadaban sosial, dan kesadaran kritis.
Pertama, spiritualitas. Pendidikan tidak boleh kehilangan dimensi spiritualnya. Spiritualitas bukan semata ajaran agama formal, tetapi kemampuan untuk menghayati makna hidup, untuk bersyukur, dan untuk hadir secara utuh dalam relasi dengan sesama dan alam semesta. Idulfitri mengajarkan pentingnya perenungan, pengendalian diri, dan kepasrahan kepada Tuhan. Hal ini bisa diintegrasikan dalam pendekatan pedagogis yang reflektif dan transformatif.
Kedua, keadaban sosial. Pendidikan harus mendidik manusia menjadi bagian dari masyarakat. Nilai-nilai seperti kejujuran, gotong royong, solidaritas, dan empati harus menjadi bagian dari kompetensi dasar yang diajarkan sejak dini. Semangat zakat dan berbagi dalam Idulfitri adalah pelajaran konkret tentang pentingnya keadilan sosial dan keberpihakan kepada yang lemah.
Ketiga, kesadaran kritis. Cinta yang tidak kritis bisa menjadi naif, bahkan represif. Oleh karena itu, pendidikan cinta juga harus melatih nalar kritis peserta didik untuk membongkar ketidakadilan, menolak kekerasan, dan membangun dunia yang lebih damai. Dalam konteks ini, nilai-nilai Idulfitri bisa menjadi dasar untuk membangun kesadaran etis yang kuat, di mana cinta bukan sekadar perasaan, melainkan juga tindakan sosial yang membebaskan.
Ketiga pilar ini membentuk fondasi pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan secara intelektual, tetapi juga menyuburkan nilai-nilai kemanusiaan.
Membumikan Kurikulum Cinta
Implementasi kurikulum cinta bukan pekerjaan mudah. Ia menuntut transformasi paradigma dari semua pihak: pemerintah, pendidik, orang tua, dan masyarakat luas. Pemerintah perlu merevisi kurikulum nasional agar lebih mengakomodasi dimensi afektif dan spiritual secara terstruktur. Sekolah dan kampus perlu menciptakan iklim pembelajaran yang lebih inklusif, partisipatif, dan manusiawi. Guru perlu dilatih untuk menjadi fasilitator penumbuhan dan pengembangan, bukan sekadar penyampai materi. Orang tua perlu menjadi mitra pendidikan, bukan sekadar penuntut prestasi.
Lebih dari itu, kita perlu mengembangkan budaya sekolah yang berbasis nilai. Budaya saling menyapa, budaya memaafkan, budaya mendengar, dan budaya melayani adalah contoh konkret dari kurikulum cinta yang bisa diterapkan tanpa perlu anggaran besar. Dengan membiasakan praktik-praktik tersebut, sekolah akan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi semua.
Kita juga bisa memanfaatkan momen-momen keagamaan seperti Idulfitri sebagai bagian dari agenda pendidikan karakter. Bukan sekadar libur panjang, tetapi menjadi ruang refleksi bersama tentang apa makna menjadi manusia yang utuh. Sekolah bisa mengadakan dialog antaragama, proyek sosial, atau kegiatan berbagi sebagai bagian dari proses belajar yang terintegrasi dengan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan.
Mewujudkan Pendidikan yang Memanusiakan Manusia
Idulfitri adalah anugerah tahunan yang sayang jika dilewatkan begitu saja. Ia tidak hanya relevan bagi umat Islam, tetapi juga bagi seluruh umat manusia yang mendambakan dunia yang lebih adil, damai, dan penuh kasih. Di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, pendidikan berbasis cinta bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah keharusan moral.
Sudah saatnya kita menoleh kembali ke arah nilai-nilai luhur dalam tradisi kita sendiri. Mari kita jadikan semangat Idulfitri sebagai fondasi bagi lahirnya kurikulum cinta—kurikulum yang mendidik bukan hanya kepala, tetapi juga hati dan tindakan. Dengan cinta, pendidikan tidak hanya akan mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga memanusiakan manusia.
Prof. Dr. Sigit Purnama, M.Pd.
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta